Resensi Buku | Review Buku "Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 3" - Ajahn Brahm

P.S. : Sebenarnya sudah lama selesai baca buku ini, tapi entah kenapa mood buat review baru muncul sekarang.. -_-".



Setelah review buku 'Si Cacing' yang pertama, langsung loncat ke yang ketiga. Yang keduanya ngga ada karena belum habis dibaca, habis bukunya pun pinjam dari kakak saya. Buku ketiga aku yang beli sendiri. :)

Buku yang ketiga ini merupakan buku terakhir dari seri Si Cacing dan berisi sebanyak 108 cerita didalamnya, berdasarkan kata pengantar buku, cerita-cerita ini untuk menginspirasi kita untuk menjadi lebih peka, mawas, tidak serius-serius amat dalam menghadapi ketidakpastian kehidupan dan kematian. Serta dapat menghadapi masalah sebagai bukan masalah, jika kita bisa menyikapi hidup dengan penuh ketulusan, penerimaan, dan kewelasan. Dan melalui buku ini, diharapkan dapat membuat kita menjadi pribadi yang makin hening dan bening.

Cover buku ini merupakan gambaran dari cerita terakhir dalam buku ini, yaitu "Pikiran Monyet".

Seperti biasa, buku ini tetap diulas oleh Ajahn Brahm secara sederhana. Ajahn Brahm Juga membagikan kisahnya mengenai kehidupan disini. Buku ini (tentu saja) tetap bisa dibaca oleh semua ras, suku, agama. Dan juga tetap menginspirasi aku akan banyak hal. Salah satunya, seperti dalam cerita 'Lubangnya Terlalu Dalam' yang bercerita tentang seseorang yang sedang berjalan dalam hutan dan menemukan lubang besar yang di dasarnya ada harta karun, lantas ia mencondongkan badannya dan berusaha meraih dengan tangannya. Tapi, tak bisa karena tangannya tak cukup panjang untuk sampai di dasar, lalu ia hanya bisa mengeluh 'lubangnya terlalu dalam'. Dan kemudian, datang orang lain yang mendatanginya, ia mengambil sebatang galah dan lalu mengambil harta itu, kemudian pergi.
Cerita tersebut mengajarkan, agar kita jangan hanya bisa mengeluh, jika cara yang ini tak bisa, pasti ada cara lain lagi. Jadi lebih baik segera bertindak daripada mengeluh terus, bukan?

"Lebih baik menyalakan lilin ketimbang mengeluhkan kegelapan." (p. 196)

Ada beberapa cerita lainnya, yang ada unsur humor didalamnya, supaya tak serius-serius amat mungkin ;), tetapi beberapa dari cerita humor tersebut tetap memberi pesan moral kepada kita.

Nothing's perfect. Ada beberapa hal, yang menurutku, sebagai kekurangan dalam buku ini. Seperti cerita 'Perangkap Tikus', 'Tertangkap Basah Kakatua', 'Jin Botol' dan 'Empat Kakek', yang ceritanya sudah aku baca di internet, jauh sebelum buku ini terbit. Tapi, mungkin bisa sebagai pengingat lagi akan moral cerita tersebut bagi yang sudah pernah membacanya. :)

Dan dari buku ini, juga ada beberapa cerita yang hampir serupa dengan buku-buku si Cacing yang sebelumnya. Tapi, sekali lagi, sebagai pengingat saja, kita membaca buku sebelumnya, belum tentu kita akan ingat untuk menerapkan salah satu cerita seumur hidup, kan? Jadi, disikapi positif saja, jika kalian merasakan hal yang sama seperti aku.

Pada akhirnya, aku memberi rate 4.5 untuk buku ini. Kenapa tidak 5? Karena aku merasa, aku lebih merasa buku sebelumnya membuat aku lebih termotivasi daripada buku ini. Tapi, tidak berarti buku ini tidak mencerahkan, karena ini hanya sekedar pendapatku.

Berikut salah satu cerita yang ada di buku ini.

"Cuma Begini?!"

Bukan tujuannya yang penting, melainkan
perjalanannya –perjalanan mencapai tujuan,
itulah yang penting. Saya tak tahu berapa
banyak orang dalam hidup kita yang
mengorbankan perjalanan yang disebutb
hidup demi mencapai tujuan-tujuan ini. Dan saya tidak tahu berapa banyak lagi yang
ketika mencapai puncak tujuan itu –saat
Anda berhasil melunasi semua cicilan, atau
Anda akhirnya berhasil sampai ke tempat
liburan yang sangat indah itu, atau mencapai
apa pun yang ingin Anda capai– Anda merasakan sendiri betapa
mengecewakannya tujuan itu! “Cuma begini?!” Saya tidak bisa
menghitung lagi berapa banyak perempuan
yang sejujurnya mengatakan ini ketika
mereka menikah, pada hari pernikahan
mereka, pada hari yang seharusnya menjadi
hari paling bahagia dalam hidup mereka, namun mereka malah mengatakan, “Cuma
begini?!” Ini juga terjadi dalam salah satu kisah saya
sendiri mengenai hidangan fish and chips.
Saya berada di hutan Thailand selama 9
tahun dan makanan di sana begitu
menjijikkan. Anjing Anda pun mungkin tidak
doyan makanan kami di sana. Apa pun yang berkerlapan, meratap di sana bisa
dimasukkan ke dalam mangkuk kami –
kodok rebus, tokek, kadal, bekicot, belalang,
telur semut sampai pusar kerbau– inilah
yang kami makan, sungguh payah. Jadi bisa Anda bayangkan ketika saya
berangkat ke Australia, saya bisa mendapat
hidangan fish and chips. Saya sampai
memimpi-mimpikan fish and chips. Meskipun
saya vegetarian, namun saya terus
mendambakan makanan ini. Lalu akhirnya, setelah dua tahun, ketika saya
melakukan upacara perkabungan untuk
seseorang, waktu acara itu membuat saya
tidak bisa kembali ke wihara untuk makan di
wihara. Jadi kepala wihara bilang, “Oke,
kalau begitu makanlah dahulu di jalan sebelum pulang.” Horeee! Inilah kesempatan saya! Saya bisa
mendapat fish and chips panas, dibubuhi lada,
cuka, dan garam! Satu porsi lengkap! Tidak
seperti makanan yang bisa Anda peroleh di
wihara. Anda bisa saja mendapat fish and
chips tetapi dimasukkan ke dalam mangkuk, lalu dicampur kari dan custard di atasnya.
Hidangan tidak lagi sama. Dan hidangan
dingin. Ketika ditaruh dalam mangkuk,
hidangan itu masih panas, tetapi setelah Anda
memberikan pemberkahan dan segala
macam tetek bengek, makanan itu sudah jadi dingin. Akhirnya saya mendapat fish and chips yang
enak dan panas ini… Selama 9 tahun saya
sudah memimpikan, membayangkan momen
ini, tetapi ketika saya mencicipinya…,
“Cuma begini?!” Saya begitu kecewa. Sungguh buang-buang
waktu saja. Apakah Anda bisa memahami apa yang
berusaha saya sampaikan? Anda memiliki
semua impian dan tujuan ini. “Kalau aku
bisa mendapat ini, aku akan bahagia!” Tapi
berapa kali Anda dikecewakan setelahnya?
Saat kebahagiaan itu lenyap, dan Anda kembali harus memburu cita-cita baru, tujuan
baru, sambil berharap tujuan dan cita-cita
batin itu akan memberikan Anda
kebahagiaan selamanya, dan ternyata…
cuma begini?!

NOTE: Cerita "Cuma Begini" ini diambil dari Buddhazine

Sekilas mengenai Ajahn Brahm



Ajahn Brahm lahir di London, 1951, dan meraih gelar Sarjana Fisika Teori di Cambridge University. Pada usia 23 tahun ia menjadi petapa di hutan Thailand dan sejak 1983 pindah ke Perth. Ia mendapat medali John Curtis dari Curtin University Australia atas pelayanannya mengunjungi penjara, rumah sakit, dan rumah duka. Ia berkeliling dunia untuk berbagi kasih dan kebahagiaan dalam ceramah dan retret. Ajahn Brahma juga melakukan Tour d'Indonesia untuk berceramah di puluhan kota dihadapan ribuan hadirin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita ABG | Cerita HOT | Cerita ABG ML (foto HOT)

How to Contact Me

Resensi Buku | Review Novel Once Upon a Love by Aditia Yudis